Makassar, 2 Oktober 2025, Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) menyoroti berbagai tantangan signifikan yang dihadapi organisasi masyarakat sipil (CSO) di Indonesia Timur, khususnya terkait aspek administrasi dan tata kelola dalam upaya transformasi sosial. Sorotan ini muncul dari diskusi mendalam bertajuk “Aspek Administratif dalam Organisasi Transformasi Sosial,” yang difasilitasi oleh Novi Meyanto dari Re. search sebagai inisiator acara dan dihadiri oleh perwakilan dari delapan organisasi, termasuk Yayasan Baileo Maluku, Yayasan Wahana Komunikasi Wanita, PERSANI NTT, dan LSKP sendiri yang diwakili oleh M. Kafrawy dalam breakout room dua pada diskusi daring penguatan organisasi masyarakat sipil di Indonesia Timur yang diikuti puluhan organisasi dan dibagi dalam beberapa ruang diskusi virtual sesuai tema yang telah dibuat dalam hal penguatan organisasi.
Diskusi yang diadakan menunjukkan bahwa organisasi lokal kini berada di bawah tekanan ganda. Di satu sisi, ada motivasi internal untuk menjadi lebih profesional dan akuntabel dengan menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan kebijakan lanjutan seperti anti-kecurangan dan perlindungan anak. Di sisi lain, mereka harus beradaptasi dengan tuntutan donor yang semakin detail, yang kini meminta SOP terpisah untuk keuangan, logistik, dan SDM, yang jauh berbeda dengan tuntutan di masa lalu.
Namun, hambatan terbesar yang terungkap adalah keterbatasan akses pendanaan besar dan biaya audit eksternal yang sangat mahal. ”Persyaratan wajib dari donor, seperti dokumen audit eksternal tiga tahun terakhir, menjadi penghalang terbesar. Biaya audit eksternal di Indonesia Timur sangat mahal (mencapai ratusan juta), dan donor jarang mengalokasikan dana khusus dalam proposal hibah untuk membiayai audit lembaga tersebut,” dari hasil diskusi ini.
LSKP dan para peserta juga menyoroti masalah keberlanjutan keuangan (sustainability). Sistem pelaporan keuangan yang ada saat ini mayoritas hanya berfokus pada pelaporan per proyek, bukan pada gambaran kesehatan keuangan organisasi secara keseluruhan. Hal ini menyulitkan organisasi untuk mengelola dana operasional di masa-masa jeda proyek (pasca-proyek) atau saat tidak ada pendanaan.
Selain itu, ditemukan adanya rasa ketidaksetaraan dalam hubungan donor. Organisasi merasa posisi tawar mereka lemah, bahkan program dapat dihentikan secara sepihak karena perubahan kebijakan negara donor, menempatkan mitra lokal pada posisi yang sangat rentan. Tantangan SDM, seperti kurangnya staf yang tertarik pada isu-isu sosial dan adanya staf yang “anti-sistem,” turut memperkeruh situasi.
