Media Sosial sebagai Katalis Siklus Kebijakan Publik

Media Sosial sebagai Katalis Siklus Kebijakan Publik Previous item Urgensi Keterbukaan... Next item Literasi Kepemiluan

Muhammad Pudail, Mahasiswa Magister Administrasi Publik UGM dan Peneliti Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) 

Partipasi publik adalah salah satu prasyarat utama dalam bangunan demokrasi. Seiring dengan perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi saat ini, partisipasi publik bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi digital. Peran publik ini dikenal dengan istilah e-participation atau partisipasi berbasis digital. Ann Macintosh, Professor e-Governance dari Leeds University merumuskan e-participation sebagai penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk memperluas dan memperdalam partisipasi politik dengan memungkinkan warga negara terhubung satu sama lain dan dengan pejabat publik.

Dalam partisipasi secara elektronik pemerintah dapat melakukan dua hal, yaitu yang pertama menyediakan platform media sosial untuk mendapatkan saran dan masukan langsung dari masyarakat atau konstuennya. Kedua pengambil kebijakan mengolah dan menganalisis data media sosial untuk melihat data kecenderungan pendapat publik.

Dari kedua cara tersebut didapatkan data yang dapat digunakan dalam merumuskan atau menilai sebuah kebijakan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemanfaatan media sosial saat ini bukan lagi hanya pada tataran sebagai media komunikasi, tetapi juga bisa digunakan para pemangku kebijakan dalam merumuskan dan mengevaluasi kebijakan.

Peran media sosial dalam framework kebijakan publik dapat dibedakan menjadi tiga pendekatan. Pertama, e-consultation and ideation yaitu pemanfaatan media sosial sebagai bagian proses perancangan dan pembuatan kebijakan dengan mendorong partisipasi publik dan menciptakan metode baru dalam mengeksplorasi ide dalam merespon mengenai suatu masalah sosial.

Kedua, crowdsourcing and co-delivery yaitu mengelola media dan open data untuk berkolaborasi bersama publik untuk menyelesaikan suatu masalah sosial. Ketiga, real-time citizen reporting yaitu pengambil kebijakan menggunakan media sosial untuk secara langsung memantau efektivitas kebijakan, mengidentifikasi apakah kebijakan perlu dihentikan, dipertahankan, atau direvisi, serta mendapatkan umpan balik langsung dari warga dalam waktu yang lebih kekinian (real-time).

Dengan ketiga pendekatan tersebut diatas, para pengambil kebijakan sebaiknya menyiapkan diri dengan meningkatkan kapasitas mereka dalam menganalisis media sosial sebagai data utama mendesain dan mengevaluasi kebijakan. Apalagi pengguna media sosial di Indonesia yang menurut laporan We Are Social pada bulan Januari 2023 berjumlah sekitar 167 juta individu yang aktif menggunakan media sosial dalam aktivitas kesehariannya. Angka ini mewakili sekitar 60,4 persen dari total populasi Indonesia.

Pada kesempatan ini, penulis berbagi keahlian dasar dalam analisis data media sosial melalui dua tahapan. Pertama, mengeksplorasi data dari media sosial. Langkah ini dilakukan untuk mendapatkan data dari media sosial yang ingin diolah memang memiliki keterbatasan saat dilakukan secara gratis, tetapi tetap memungkinkan. Untuk platform media sosial yang besar, mereka umumnya menyediakan alat atau portal pengembang khusus, seperti Twitter Analytics, Facebook Analytics, Instagram Business Tools, dan Youtube Creator Academy. Dengan alat-alat ini, kita dapat melakukan analisis data dari sumber tersebut.

Namun, ada beberapa keterbatasan, seperti batasan waktu yang umumnya terbatas hingga beberapa minggu atau beberapa bulan terakhir, dan tidak memungkinkan untuk mengakses data dari beberapa tahun yang lalu. Selain mengandalkan alat-alat tersebut, ada aplikasi pihak ketiga yang sangat populer untuk mengumpulkan data, yaitu python. Python memiliki keunggulan sebagai bahasa pemrograman yang sangat serbaguna dalam pengumpulan data, dan tidak hanya digunakan untuk tujuan penelitian, melainkan juga dapat diterapkan dalam pengembangan web, pemrosesan teks, kecerdasan buatan (artificial intelligent atau AI), pembelajaran mesin, dan berbagai bidang lainnya.

Langkah kedua adalah proses analisis data. Setelah pengumpulan data selesai, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data. Misalnya, dengan menggunakan Tweepy yang dapat diintegrasikan dengan Python, kita bisa mengambil data dari platform media sosial seperti Twitter. Setelah data terkumpul, kita dapat menggunakan kode yang sudah tersedia di alat instalasi Web Tweepy untuk mengakses dan mengolah data tersebut.

Setelah itu, untuk memahami dan memvisualisasikan data yang telah diolah, kita bisa menggunakan alat seperti flourish atau tableau. Kedua alat ini memungkinkan kita untuk menyajikan data dalam berbagai bentuk visualisasi, seperti grafik, diagram, atau peta. Ini membantu kita dalam menjelaskan dan menyampaikan temuan dari data dengan cara yang lebih jelas dan persuasif. Langkah ini penting untuk menghasilkan pemahaman yang kuat dari data yang telah dikumpulkan untuk mendukung suatu kebijakan.

Berbagai ilmuan kebijakan dunia telah merekomendasikan penggunana media sosial sebagai salah satu alat dalam perumusan kebijakan. Studi yang dilakukan Anthony Simonofski dkk (2018) dari University of Namur, Belgia menegaskan pentingnya proses pembuatan kebijakan berbasis media sosial dan data platform partisipasi elektronik data. Penelitian mereka menunjukan bahwa analisis media sosial dapat digunakan sebagai data pendapat dari masyarakat dalam proses formulasi kebijakan. Dengan demikian analisis media sosial, para pemangku kebijakan dapat mengeksplorasi data informasi dalam siklum kebijakan publik. Mulai dari proses agenda setting, formulasi, penetapan, implementasi, hingga pada tahap evaluasi kebijakan.

Untuk itu, sebaiknya para pengambil kebijakan, baik dari pemerintah atau anggota dewan harus menyiapkan diri dalam mencerna data dan informasi berbasis digital ini. Demikian halnya partai politik, sebaiknya berkomitmen untuk mengembangkan Departemen Penelitian dan Pengembangan (Litbang) untuk bekerja lebih serius dalam melihat kecenderungan warganya dari data informasi di media sosial.

Penguatan Litbang dapat menghemat biaya operasional yang sering digelontorkan Parpol menjelang Pemilu atau Pilkada. Litbang seharusnya menjadi lumbung data dan informasi para wakil rakyat di legislatif untuk memahami konstituennya secara real-time.

Dengan demikian Parpol memiliki alternatif kebijakan dalam mengkritisi kebuntuan aplikasi kebijakan yang terjadi saat ini oleh pemerintah. Tanpa data dan informasi yang kuat, pengambil kebijakan tidak mampu memahami masalah sebenarnya yang membuatnya bisa lebih jeli melihat peluang solusi yang sebaiknya segera dieksekusi. Keaktifan warga dalam menyampaikan kritik dan ide mereka di media sosial menjadi sebuah media partisipasi yang seharusnya dibaca dengan kritis oleh para pengambil kebijakan dalam menawarkan kebijakan mereka.

Kita berharap ke depan tidak lagi berlaku viral-based policy yang cenderung merespon masalah dari permukaannya saja. Alih-alih menyelesaikan masalah namun yang terjadi dimanfaatkan sebagai arena pencitraan politik yang justru semakin mengindikasikan kegagalan sistem memahami masalah sebenarnya. Dengan menggunakan media sosial sebagai katalis proses pengambilan kebijakan sebagai basis evidence-based policy dimana data media sosial dapat mendeteksi akar masalah sebenarnya.

Sumber: https://makassar.tribunnews.com/2023/10/10/media-sosial-sebagai-katalis-siklus-kebijakan-publik?page=4