Mahasiswa Agen Perubahan & Demokrasi

Mahasiswa Agen Perubahan & Demokrasi Previous item Kesetaraan Gender, Bentuk... Next item Game Dan Kekerasan ...

Agent of Change

Bangunan peradaban politik Indonesia tidak pernah lepas dari kontribusi kaum pemuda terpelajar sejak jama pra kemerdekaan sampai saat ini. Transformasi kekuasaan dari jaman penjajah ke bangsa Indonesia, dari penguasa Orde Lama ke rezim Orde Baru dan dari Orde Baru ke Orde Reformasi adalah hasil gerakan para kaum muda terpelajar.  Berangkat dari peran mereka dalam setiap proses perubahan tersebutlah maka kaum muda terpelajar atau mahasiswa memiliki tanggungjawab sosial sebagai agent of change atau agen perubahan. Masyarakat selalu menaruh harapan besar pada mahasiswa untuk selalu kritis pada berbagai ketidakadilan. Mahasiswa selalu muncul di waktu mendesak ketika tidak ada lagi kelompok sosial politik di tatanan kenegaraan ini yang mampu mengingatkan para pengambil kebijakan. 

Meskipun demikian, peran para kaum terpelajar seperti peran pemadam kebakaran. Mereka datang ketika api sudah bear dan tidak terkontrol. Ketika api telah padam dan mereka kembali ke pangkalan. Demikian halnya dengan mahasiswa, ketika terjadi perubahan dan selanjutnya mereka kembali ke bangku kuliah. Tidak heran kemudian setiap proses perubahan yang diinisiasi oleh mahasiswa kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok pencari keuntungan (free rider) dengan sekedar berkamuflase dengan wajah atau peran baru. Pada akhirnya perubahan yang diharapkan masyarakat dan mahasiswa tidak selalu terjadi. Sebagaimana yang dipertontonkan para elit politik bangsa ini saat ini. Reformasi yang dikorupsi. Terjadi pembajakan agenda reformasi oleh para oligarki politik yang telah menguasai pemerintah dan di parlemen (DPR/DRPD). 

Agent Democracy

Untuk itu mahasiswa seharunsya tidak semata memainkan peran sebagai agen perubahan atau layaknya pemadam kebakaran. Mahasiswa harus mengambil peran lebih besar dan lebih strategis. Untuk itu mahasiswa harusnya menjadi agen demokrasi. Mahasiswa harus memainkan peran dalam mengawal demokrasi berjalan secara substantif tidak semata formalitas. Pelaksanaan demokrasi yang tidak semata pada penyelenggaraan Pemilu atau Pilkada namun juga penerapan nilai-nilai pemilu yang bersih dari politik uang dan menjunjung tinggi keadilan sosial. Selain itu, memastikan akuntabilitas dana partai politik dan anggaran publik (APBN/APBD) disusun dan disalurkan dengan prinsip pro poor budgetting dan pro gender budgeting.

Artikel ini menawarkan tiga agenda utama bagi kaum muda terpelajar alias mahasiswa dalam menunaikan tugasnya sebagai agen demokrasi. Pertama, mahasiswa harus aktif dalam pendidikan politik kritis. Mahasiswa harus kritis sejak awal khususnya pada calon-calon pemimpin daerah dan calon anggota legislatif dengan melihat latar belakangnya. Kita harus memastikan bahwa para pengambil kebijakan kita bukan dari para kelompok aji mumpung. Mumpung keluarganya pejabat atau mumpung keluarganya kaya sehingga mereka dengan mudah bisa mewakili kita di parlemen dan mengukuhkan oligarki politik. Fenomena ini dikenal dengan istilah elite capture. Kita harus memastikan bahwa para wakil kita adalah orang-orang yang sejak lama aktif di masyarakat. Jangan heran kalo sebagian kebijakan yang disahkan parlemen tidak selalu berorientasi rakyat karena yang mewakili kita memang gagap memahami masalah masyarakat sebenarnya.

Fenomena keberhasilan orang-orang aji mumpung atau elite capture ini antara lain disebabkan oleh politik uang  atau vote buying. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa politik uang merusak demokrasi dan membuat wakil rakyat yang terpilih cenderung untuk mengambil keuntungan selama menjabat (lihat: Indrayana, 2018; Aspinal dan Sukmajati, 2016; Reuter, 2015). Pada titik inilah mahasiswa harus berperan pada agenda kedua yaitu memberantas politik uang di Pemilu dan Pilkada. Mahasiswa harus konsisten untuk tidak terlibat dan mendukung aktivitas politik uang. Mahasiswa juga sebaiknya melakukan upaya penyadaran ke masyarakat untuk tidak memilih wakil rakyat atau pemimpin karena “serangan fajar”. Bayangkan kalo seluruh mahasiswa yang turun ke jalan pada 24 September kemarin kompak melawan politik uang, maka kemungkinan anggota DPR/DPRD yang berkualitas dan bersih akan lebih banyak terpilih. 

Agenda terakhir, mahasiswa harus gandrung pada kegiatan relawan dan menjadi active citizen dengan melakukan sesuatu yang dapat berkontribusi pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Mahasiswa harus selalu mengasah nilai kepekaan keadilan sosialnya. Salah satunya dengan menjadi relawan pemantau Pemilu/Pilkada. Dalam pengalaman Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) melakukan kegiatan relawan Pemilu sejak 2018 dan 2019 di Sulawesi Selatan, banyak mahasiswa yang menjadi relawan pemantau namun seharusnya jumlah bisa lebih banyak. Apatisme politik anak muda masih banyak melanda kalangan kaum pelajar bangsa ini. Fenomena ini mengkhawatirkan karena akan menguatkan tesis Foa dan Mounk (2016) tentang trend global dekonsolidasi demokrasi. Dalam studinya, mereka mengindikasikan kecendrungan warga di negara-negara demokratis Amerika dan Eropa bosan pada sistem demokrasi. Dan kelompok generasi muda menunjukkan trend lebih agresif dalam proses dekonsolidasi demokrasi dibanding kelompok lebih tua. Dalam studi sederhana yang saya lakukan dengan menggunakan data Asia Barometer Survey 2006 dan 2012, data menunjukkan trend yang sama terjadi di Indonesia. Semoga aksi mahasiswa pada 24 September kemarin memberikan sinyal negatif pada trend dekonsolidasi demokrasi di Indonesia.

Sebagai penutup, kita semua berharap mahasiswa memainkan dua peran (agen perubahan dan agen demokrasi) secara berkesinambungan. Dengan memainkan kedua peran tersebut, maka mahasiswa bukan lagi sekedar menjadi pemadam kebakaran. Bahkan lebih dari itu, mahasiswa memainkan fungsi kontrol yang lebih kuat sehingga mampu mereduksi kekuatan oligarki politik yang telah merusak tatanan demokrasi bangsa ini. 

Penulis: Andi Ahmad Yani (Dosen Fisip Unhas dan Peneliti Lembaga Studi Kebijakan Publik)